Senin, 19 Desember 2016

ALIRAN-ALIRAN DALAM PENDIDIKAN

Pendidikan merupakan aspek terpenting dalam membangun karakter manusia. Namun, dalam perkembangannya, pendidikan sering dianggap tidak penting bahkan dianggap tidak diperlukan. Akan tetapi, pendidikan pada waktunya menempati posisi penting dalam kehidupan. Saat manusia sadar, bahwa pendidikan merupakan aspek luar yang membangun keterampilan dan kemampuan manusia lain. Fase-fase tersebut dapat terlihat dari teori-teori pendidikan yang muncul, mulai dari teori empirisme, nativisme, naturalisme, dan konvergensi. Masing-masing teori menyampaikan kelebihan dan kekurangan pendidikan serta bagaimana peran pendidikan dalam kehidupan masyarakat. Perkembangan tersebut, penting untuk dipelajari dan dihikmahi, mengingat semua teori tersebut pada hakikatnya mendasari konsep-konsep pendidikan saat ini. Oleh karena itu, makalah ini akan membahas empat teori tersebut.

1.Nativisme
Aliran nativisme berasal dari kata natus (lahir); nativis (pembawaan) yang ajarannya memandang manusia (anak manusia) sejak lahir telah membawa sesuatu kekuatan yang disebut potensi (dasar). Aliran nativisme ini, bertolak dari leibnitzian tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak dalam proses pembelajaran. Dengan kata lain bahwa aliran nativisme berpandangan segala sesuatunya ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir, jadi perkembangan individu itu semata-mata dimungkinkan dan ditentukan oleh dasar turunan, misalnya ; kalau ayahnya pintar, maka kemungkinan besar anaknya juga pintar. Para penganut aliran nativisme berpandangan bahwa bayi itu lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh karena itu, hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Berdasarkan pandangan ini, maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri. Ditekankan bahwa “yang jahat akan menjadi jahat, dan yang baik menjadi baik”. Pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat dan pembawaan anak  didik tidak akan berguna untuk perkembangan anak sendiri dalam proses belajarnya. Bagi nativisme, lingkungan sekitar tidak ada artinya sebab lingkungan tidak akan berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak. Penganut pandangan ini menyatakan bahwa jika anak memiliki pembawaan jahat maka dia akan menjadi jahat, sebaliknya apabila mempunyai pembawaan baik, maka dia menjadi orang yang baik. Pembawaan buruk dan pembawaan baik ini tidak dapat dirubah dari kekuatan luar. Tokoh utama (pelopor) aliran nativisme adalah Arthur Schopenhaur (Jerman 1788-1860). Tokoh lain seperti J.J. Rousseau seorang ahli filsafat dan pendidikan dari Perancis. Kedua tokoh ini berpendapat betapa pentingnya inti privasi atau jati diri manusia. Meskipun dalam keadaan sehari-hari, sering ditemukan anak mirip orang tuanya (secara fisik) dan anak juga mewarisi bakat-bakat yang ada pada orang tuanya. Tetapi pembawaan itu bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang menentukan perkembangan. Masih banyak faktor yang dapat memengaruhi pembentukan dan perkembangan anak dalam menuju kedewasaan
B. Empirisme
Aliran empirisme, bertentangan dengan paham aliran nativisme. Empirisme (empiri = pengalaman), tidak mengakui adanya pembawaan atau potensi yang dibawa lahir manusia. Dengan kata lain bahwa manusia itu lahir dalam keadaan suci, tidak membawa apa-apa. Karena itu, aliran ini berpandangan bahwa hasil belajar peserta didik besar pengaruhnya pada faktor lingkungan. Dalam teori belajar mengajar, maka aliran empirisme bertolak dari Lockean Tradition yang mementingkan stimulasi eksternal dalam perkembangan peserta didik. Pengalaman belajar yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari didapat dari dunia sekitarnya berupa stimulan-stimulan. Stimulasi ini berasal dari alam bebas ataupun diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk program pendidikan. Tokoh perintis aliran empirisme adalah seorang filosof Inggris bernama John Locke (1704-1932) yang mengembangkan teori “Tabula Rasa”, yakni anak lahir di dunia bagaikan kertas putih yang bersih. Pengalaman empirik yang diperoleh dari lingkungan akan berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan anak. Dengan demikian, dipahami bahwa aliran empirisme ini, seorang pendidik memegang peranan penting terhadap keberhasilan peserta didiknya. Menurut Redja Mudyahardjo bahwa aliran nativisme ini berpandangan behavioral, karena menjadikan perilaku manusia yang tampak keluar sebagai sasaran kajiannya, dengan tetap menekankan bahwa perilaku itu terutama sebagai hasil belajar semata-mata. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keberhasilan belajar peserta didik menurut aliran empirisme ini, adalah lingkungan sekitarnya. Keberhasilan ini disebabkan oleh adanya kemampuan dari pihak pendidik dalam mengajar mereka. Ketika aliran-aliran pendidikan, yakni nativisme, dan empirisme dan dikaitkan dengan teori belajar mengajar kelihatan bahwa kedua aliran yang telah disebutkan  (nativisme-empirisme) mempunyai kelemahan. Adapun kelemahan yang dimaksudkan adalah sifatnya yang ekslusif dengan cirinya ekstrim berat sebelah. Keberhasilan teori belajar mengajar jika dikaitkan dengan aliran-aliran dalam pendidikan, diketahui beberapa rumusan yang berbeda antara aliran yang satu dengan aliran lainnya. Menurut aliran nativisme bahwa seorang peserta tidak dapat dipengaruhi oleh lingkungan, sedangkan menurut aliran empirisme bahwa justru lingkungan yang mempengaruhi peserta didik tersebut.

C. Naturalisme
Naturalisme merupakan aliran yang menyakini adanya pembawaan dan juga milieu (lingkungan). Namun demikian, ada dua pandangan besar mengenai hal ini. Pertama disampaikan oleh Rousseau yang berpendapat bahwa pada dasarnya manusia baik, namun jika ada yang jahat, itu karena terpengaruh oleh lingkungannya. Kedua, disampaikan oleh Mensius yang berpendapat bahwa pada dasarnya manusia itu jahat. Ia menjadi manusia yang baik karena bergaul dengan lingkungannya (Ahmadi dan Uhbiyati, 1991: 296). Dua pendapat ini jelas memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Satu sisi memandang sisi jahat manusia bersumber dari lingkungan, sementara pendapat lain menyatakan bahwa sisi jahat itu sendiri yang justru berada pada diri manusia. Namun, jika memperhatikan dua pendapat ini memiliki sisi kebenaran yang sama jika ditilik dari sudut genetis. Memang, jika melihat faktor ini. Manusia yang secara genetis tidak baik, maka ia akan menjadi manusia yang seperti ini, begitupun sebaliknya. Menurut paham naturalisme paling tidak ada lima tujuan pendidikan, kelima pendapat itu disampaikan oleh Spencer dalam Sudrajat (2013) yang terdiri dari (1) Pemeliharaan diri; (2) Mengamankan kebutuhan hidup; (3) Meningkatkan anak didik; (4) Memelihara hubungan sosial dan politik; (5) Menikmati waktu luang. Dari lima tujuan pendidikan ini, jelas bahwa aliran naturalisme ini mementingkan manfaat pendidikan dengan menjadikan pemeliharaan diri menjadi faktor utama yang kemudian disusul dengan kebutuhan hidup. Kedua faktor tersebut akan tercapai jika faktor faktor ketiga secara maksimal dilaksanakan. Agar maksimal maka faktor keempat dan kelima yang kemudian menjadi perhatian dalam melakukan pendidikan. Selain itu menurut Spencer dalam Sudrajat (2013), ada enam prinsip dalam proses pendidikan beraliran naturalisme. Delapan prinsip tersebut adalah:
  1. Pendidikan harus menyesuaikan diri dengan alam;
  2. Proses pendidikan harus menyenangkan bagi anak didik;
  3. Pendidikan harus berdasarkan spontanitas dari aktivitas anak;
  4. Memperbanyak ilmu pengetahuan merupakan bagian penting dalam pendidikan;
  5. Pendidikan dimaksudkan untuk membantu perkembangan fisik, sekaligus otak;
  6. Praktik mengajar adalah seni menunda;
  7. Metode instruksi dalam mendidik menggunakan cara induktif;
  8. Hukuman dijatuhkan sebagai konsekuensi alam akibat melakukan kesalahan. Kalaupun dilakukan hukuman, hal itu harus dilakukan secara simpatik.
Kiranya delapan prinsip pendidikan itu sangat jelas. Namun karakter khas yang terlihat dari aliran naturalisme ini, adalah bagaimana anak berkembang secara wajar. Hal ini dapat dilihat pada poin nomor tiga yang menyatakan bahwa pendidikan harus berjalan spontan. Akan tetapi, spontanitas itu bukan berarti tidak bermutu. Justru menurut naturalisme, spontanitas merupakan sarana untuk mendapat pengetahuan baik beruoa fisik maupun otak seperti yang tersebut pada poin empat dan lima, Jadi jelaslah, bahwa naturalisme menghendaki bahwa pendidikan yang berjalan secara wajar tanpa intervensi yang berlebihan sehingga membuat anak tersebut justru merasa terancam. Hal ini dilakukan atas dasar, bahwa anak memiliki potensi insaniyah yang memungkinkan untuk dapat berkembang secara alamiah. Adapun tokoh naturalisme ini adlaah J.J. Rousseau (1712-1778) dan Schopenhauer (1788-1860 M). Kedua tokoh ini, merupakan tokoh yang sering dikutip pendapatnya berkaitan dengan naturalisme.
D. Konvergensi
Konvergensi dipelopori oleh William Stern. Gagasan Stern mengenai konvergensi ini didasari pada dua teori sebelumnya, yakni nativisme dan empirisme. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa konvergensi merupakan gabungan antara kedua teori tersebut. Hal ini dapat ditilik dalam teori konvergensi yang menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan manusia itu bergantung pada faktor bakat/pembawaan dan faktor lingkungan, pengalaman/pendidikan (Ahmadi dan Uhbiyati, 1991: 294). Jika diidentifikasi teori tersebut, maka jelas bahwa unsur nativisme dan empirisme membangun kedua teori itu. Hal itu tercermin pada,  faktor bakat merupakan gagasan teori nativisme sedangkan faktor lingkungan merupakan gagasan empirismi. Penganut aliran ini berpendapat bahwa dalam proses perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama-sama mempunyai peran yang sangat penting. Bakat yang dibawa pada waktu anak tersebut dilahirkan tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang baik sesuai dengan perkembangan bakat anak itu. Sebaliknya, lingkungan yang baik tidak akan menghasilkan perkembangan anak yang optimal kalau memang pada diri anak itu tidak terdapat bakat yang diperlukan untuk dikembangkannya. Sebagai ilustrasi, anak dalam tahun pertama mempelajari bahasa bukan karena dorongan dan bakat. Melainkan karena meniru suara ibunya dan orang-orang di sekitarnya. Namun, tanpa ada bakat dan dorongan, tentu saja hal itu tidak dimungkinkan. Sehingga kedua aspek ini sama pentingnya. Sebagai gambaran lain, seorang yang memiliki bakat  bermain musik, namun karena lingkungan tidak mengkondisikan orang tersebut, maka ia pun tidak akan menjadi pemusik hebat. Ada tiga teori konvergensi yang terkenal yang disampaikan oleh Stern, yakni:
  1. Pendidikan mungkin dilaksanakan.
  2. Pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan lingkungan kepada anak didik untuk mengembangkan potensi yang baik dan mencegah  berkembangnya potensi yang kurang baik.
  3. Yang membatasi hasil pendidikan  adalah pembawaan dan lingkungan
Pandangan konvergensi ini tentu saja memberi arah yang jelas mengenai pentingnya pendidikan. Bahwa, pendidikan harus dilakukan agar potensi anak dapat ditingkatkan. Sehingga bakat yang ada semakin terasah, sementara kompetensi lain pun ikut diasah.
DAFTAR PUSTAKA
 Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Saphuha, Julaiha. Aliran Konvergensi. Diakses pada 5 Maret 2013 dari Google.com Sudrajat, Akhmad. Filsafat Naturalisme. Dikutip pada 5 Maret 2013 dari 

0 komentar:

Posting Komentar

 

Mifta Erls Template by Ipietoon Cute Blog Design